Minggu, 07 Agustus 2016

Unsur Bentuk Puisi



Struktur bentuk atau struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair. Struktur bentuk yang disebut juga dengan metode puisi terdiri dari (1) bunyi dan irama, (2) kata, (3) baris dan bait, (4) citraan, (5) sarana retorika dan bahasa kiasan, dan (6) tipografi dan enjambemen. Struktur fisik atau metode puisi tersebut juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa dan sintaksis dalam puisi.
1.        Bunyi dan Irama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bunyi adalah sesuatu yang terdengar (didengar) atau ditangkap oleh telinga. Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya : lagu, melodi, irama, dan sebagainya. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus dan sebagainya.
Irama yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta nuansa makna tertentu. Timbulnya irama itu, selain akibat penataan rima, juga akibat pemberian aksentuasi dan intonasi maupun tempo sewaktu melaksanakan pembacaan secara oral. Bunyi dan irama dalam puisi memiliki fungsi ekspresif dan estetis. Ekspresif berarti dapat mengungkapkan ekspresi yang ada di dalam pusi tersebut, dan estetis yaitu memiliki keindahan dalam tersendiri di dalamnya.
 Bunyi dan irama dalam kumpulan puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri mempunyai daya tekan terhadap bunyi yang sangat tinggi, salah satunya terlihat dalam puisi yang berjudul POT.
POT
Pot apa pot         itu pot kaukah pot aku
                           Pot pot pot
Yang jawab        pot pot pot kaukah pot itu
Yang jawab        pot pot pot kaukah pot aku
                           Pot pot pot
   Potapapotitu potkaukah potaku?
                           POT
Dalam puisi pot tersebut sangat menonjol unsur bunyi dan irama. Bunyi pada suku kata yang dibalik balik menimbulkan irama dan intonasi berbeda dalam pengucapan atau penyampaiannya. Puisi diatas cenderung berirama cepat dengan artikulasi yang jelas sehingga menimbulkan irama yang khas pada puisi tersebut.
Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Irama adalah alunan yang terjadi karena perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras lembut tekanan, dan tinggi rendahnya nada. Metrum atau ragam bunyi adalah ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata dalam setiap baris. Metrum meliputi bunyi euphony, bunyi cacophony, dan onomatope.
Dalam menganalisis ketiganya perlu mengetahui adanya asonansi dan aliterasi. Asonansi adalah pengulangan bunyi vokal yang sama dalam kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi.
Baris pertama dari puisi Jadi terdapat asonansi i dan a berturut-turut : tidak setiap derita dan aliterasi t berturut-turut : tidak setiap derita. Baris kedua terdapat asonansi a : jadi luka. Baris ketiga terdapat asonansi i : tidak setiap sepi. Baris keempat terdapat asonansi i : jadi duri. Baris kelima mempunyai asonansi a : tidak setiap tanda, dan aliterasi t : tidak setiap tanda. Baris ke-6, ke-8, ke-10, ke-12, ke-14, ke-16, ke-18, ke-20 berasonansi a : jadi makna, jadi ragu, jadi sebab, jadi mau, jadi pegang, jadi tahu, jadi kaca, pada wajahku! Baris ke-7 berasonansi a : tidak setiap tanya, dan aliterast t : tidak setiap tanya. Pada baris ke-9,ke-13, ke-15, ke-17, ke-19 berasonansi a : tidak setiap jawab, tidak setiap tangan, tidak setiap kabar, tidak setiap luka, memandang kau. 
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa asonansi pada puisi Jadi mendominasi menggunakana asonansi a dan aliterasi t. Pada puisi tersebut terdapat kata yang diulang-ulang seperti kata ‘tidak’ dan kata ‘jadi’.


2.        Kata
a.       Diksi
Diksi adalah pilihan kata atau rase dalam karya sastra. Diksi sering kali juga menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang mempunyai ciri khas tertentu dengan pemilihan katanya yang khas dan unik seperti terdapat dalam puisi Tragedi Winka Sihkha berikut.
TRAGEDI WINKA SIHKHA
kawin
        kawin
                    kawin 
                                kawin
                                            kawin
                                                        ka
                                                win
                                            ka
                                    win
Pemilihan kata yang ‘aneh’ serta terbalik menjadi ciri khusus atau ciri khas pengarang Sutardji Calzoum Bachri. Kata tersebut mempunyai makna tersendiri yang mana terdapat maksud ungakapan dari penyair
b.      Penulisan kata
Penulisan kata dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri tidak menggunakan aturan khusus. Bebas dan penuh kreativitas merupakan salah satu cirinya. Salah satunya tercermin dalam puisi berikut.
JADI

tidak setiap derita
jadi luka
tidak setiap sepi
jadi duri
tidak setiap tanda
jadi makna
tidak setiap tanya
 jadi ragu
tidak setiap jawab
jadi sebab
tidak setiap seru
jadi mau
tidak setiap tangan
jadi pengang
tidak setiap kabar
jadi tahu
tidak setiap luka
jadi kaca
memandang Kau
pada wajahku!
Dalam puisi diatas, penulisan kata menggunakan huruf nonkapital semua. Hanya satu yang menggunakan huruf kapital yaitu huruf ‘K’ pada kata ‘Kau’. Terdapat juga satu kata yang diakhiri dengan tanda seru, yaitu kata ‘wajahku!’
c.       Makna kata
Makna dari setiap kata dalam puisi Sutardji tidak begitu menonjol. Pasalnya dalam kumpulannya yang berjudul O Amuk Kapak ini cenderung menonjolkan keindahan bunyi daripada keindahan makna. Makna kata dalam puisinya dapat menimbulkan makna ganda bagi pembaca atau makna yang abstrak. Seperti kata ‘winkha’ dan ‘sihkha’. Kedua kata tersebut akan memunculkan berbagai makna dan berbagai pendapat dari pembaca yang mungkin berbeda dengan maksud penyairnya.
d.      Kata konkret
Berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata konkret dalam puisi dapat dibedakan antara (1) lambang, yakni bila kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam kamus (makna leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain (makna denotatif); (2) utterance atau indice, yakni kata-kata yang mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian; dan (3) symbol, yakni bila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual).
CINTA SEJATI (Kahlil Gibran)
Sejak kehadiranmu hingga kini
Ruang hatiku beraroma wangi
Buaian bunga-bunga rindu menari
Yang kau tinggalkan dihati
Makin hari bersemi
Tanpa layu senyum ini
Tersirami cinta suci                                                                                        
Darimu kekasih hati
Jangan biarkan aku sendiri
Kuhanya ingin memiliki
Dirimu seutuhnya cinta sejati
Menjadi harga mati tak tertawar lagi
Andai ada pengganggu hati
Hati ini tegas menghadapi
Janganlah engkau ragu lagi
Hati ini milikmu abadi

Dalam puisi Cinta Sejati karya Kahlil Gibran menceritakan si aku lirik yang sedang jatuh cinta kepada kekasihnya. Terdapat lambang pada baris kesembilan sampai baris kesebelas, dalam ketiga baris tersebut si akun lirik benar-benar ingin memiliki kekasihnya seutuhnya. Kata ‘seutuhnya’ berarti kata sifat yang menyatakan kelengkapan dan keseluruhan. Keberadaan kata tersebut juga sesuai dengan konteks larik sebelumnya dan sesudahnya. Kata ‘beraroma wangi’ dalam puisi tersebut menimbulkan makna ganda atau makna yang tidak sebenarnya. Hati seorang aku lirik tidak benar-benar secara nyata beraroma wangi tetapi kata ‘beraroma wangi’ menerangkan bahwa hati si aku lirik sedang bahagia. Hal serupa berlaku sama terhadap kata ‘bunga-bunga’, ‘bersemi’, ‘layu’, ‘tersirami’.


3.        Baris dan Bait
Baris dalam puisi pada dasarnya merupakan pewadah, penyatu, dan pengemban ide penyair yang diawali lewat karya. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan. Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut. Bait adalah satu kesatuan dalam puisi yang terdiri atas beberapa baris.
Baris dan bait puisi Sutardji cenderung tidak konvensional dan bebas. Sutardji tidak menganut konvensi puisi pada umumnya. Baris dan bait tidak menentu. Banyak puisi sutardji yang baris dan baitnya tidak teratur sehingga menyerupai suatu bentuk, baik itu zigzag, piramida, dan lain sebagainya. Namun, terdapat juga puisi Sutardji yang berbentuk seperti paragraf sehingga sulit untuk menentukan baris dan baitnya. Berikut contoh puisinya.
Puisi berbentuk paragraf :
                                                     SCULPTURE
kau membiarkan perempuan dan lelaki meletakkan lekuk tubuh mereka meletakkan gerak menggeliatbagai perut ikan dalam air dari gairah tawa sepi mereka dan bungkalan tempat kehadiran menggerakkan hadir dan hidup dan lobang yang menangkap dan lepas rasia kehidupan kau tegak menegakkan lekuk bungkalan lobang dalam gerak yang tegak diam dan kau menyentak aku ke dalam lekukbungkalanlobangmu mencari kau
Puisi berbentuk simbol atau lambang:
TRAGEDI WINKA SIHKHA
kawin
        kawin
                    kawin 
                                kawin
                                            kawin
                                                        ka
                                                win
                                            ka
                                    win


4.        Citraan
Pengimajian (imagery) atau citraan merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata. Ada bermacam-macam jenis citraan, sesuai dengan indra yang menghasilkannya, yaitu (1) citraan penglihatan (visual imagery), (2) citraan pendengaran (auditory imagery), (3) citraan rabaan (thermal imagery), (4) citraan pengecapan (tactile imagery), (5) citraan penciuman (olfactory imagey), (6) citraan gerak (kinesthetic imagery).

DENGAN PUISI AKU (Taufiq ismail)

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya

Dalam puisi Taufiq Ismail yang berjudul Dengan Puisi Aku  sangat menonjol unsur pengimajian atau citraan. Citraan penglihatan terdapat pada baris ketiga dan keempat, baris tersebut menggambarkan akan penglihatan si aku lirik terhadap kehidupannya yang luas. Citraan pendengaran muncul pada baris pertama, baris tersebut menggambarkan tentang aku lirik yang menyuarakan pendapatnya untuk didengarkan pembaca. Hal serupa juga dapat dilihat pada kata ‘busuk’ yang mewakili citraan penciuman, kata ‘menangis’ yang mewakili rabaan dan kepekaan rasa dari aku lirik terhadap puisinya.

5.        Sarana Retorika dan Bahasa Kiasan
Sarana retorika meliputi penggunakaan majas dalam puisi. Bahasa figurasi atau bahasa kiasan merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang maka katanya atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu. Majas sering juga disebut bahasa kias.
Majas terdiri atas majas perbandingan, majas pertentangan, majas sindiran, dan majas penegasan.
a.       Majas perbandingan, yaitu majas yang menyatakan perbandingan untuk meninggalkan kesan dan juga pengaruh tertentu terhadap pendengar ataupun pembaca. Majas perbandingan terdiri dari asosiasi, metafora, personifikasi, alegori, simbolik, metonimia, sinekdok, simile;
b.      Majas pertentangan, yaitu gaya bahasa atau kata-kata berkias yang menyatakan pertentangan maksud sebenarnya oleh pembicara atau penulis dengan tujuan untuk memberikan kesan dan pengaruhnya kepada pembaca atau pendengar. Majas pertentangan terdiri dari antitesis, paradoks, hiperbola, dan litotes.
c.       Majas sindiran, gaya bahasa yang mengandung sindiran untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca. Majas sindiran terdiri dari ironi, sinisme, dan sarkasme.
d.      Majas penegasan, ialah gaya bahasa yang mengandung kata kiasan yang dipergunakan untuk memberikan penegasan. Majas penegasan terdiri dari pleonasme, repetisi, paralelism, tautology, klimaks, antiklimaks, retorik.

PADAMU JUA
Amir Hamzah

 Habis kikis
Segera cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Matahari - bukan kawanku.

            Dalam puisi PadaMu Jua karya Amir Hamzah terdapat berbagai bahasa figurasi atau majas. Diantaranya adalah baris keempat bait pertama. Kata ‘seperti’ menunjukkan majas asosiasi yaitu perumpamaan yang seperti dulu. Pada baris ketiga bait kedua, kata ‘melambai’ mengandung majas personifikasi yang mengandung makna seakan-akan melambai seperti manusia.

6.        Tipografi dan Enjambemen
Tata wajah atau tipografi adalah ukuran bentuk, cara penyair menuliskan puisinya. Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Peranan tipografi dalam puisi, selain untuk menampilkan aspek artistik visual, juga untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu. Selain itu, tipografi juga berperanan dalam menunjukkan adanya loncatan gagasan serta memperjelas adanya satuan-satuan makna tertentu yang ingin dikemukakan penyairnya.
MANA JALANMU
Sutardji Calzoum Bachri

ikan membawa air
dalam mulut
taman
bangku ngantuk
angin bernapas sendirian
dedaunan harap
agar
angin menggoyanggoyang pinggul mereka
bulan senyum
ikan mencubit pipinya
jalan bergegas membawa orang
sedang kau kehilangan jalanmu
(mana jalanmu?)
bulan sebentar lagi habis
diganggu ikan
cepat cari jalanmu!
lekas panggil
siapa tahu
itu jalanmu
kemarin perigimu telah dicuri orang
(untung masih ada kolam)
ayo kejar
tanyakan!
-hei jalan siapa yang kau bawa?
-akukah itu?
(gelap)
mana jalan
mana orangnya?
Bajingan!
bulan ditelan ikan

            Dari puisi Sutardji yang berjudul Mana Jalanmu terlihat jelas tata letak, bentuk, serta tipografi yang digunakan. Sutardji mempunyai maksud atau tujuan tersendiri saat membuat tulisan dalam puisinya mempunyai konsep seperti itu. Sutardji tidak mau terkekang dengan aturan puisi yang selalu per bait dan mempunyai aturan khusus. Sutardji ingin puisinya memiliki kebebasannya tersendiri dan juga dapat dijadikan sebagai ciri kas dari karya-karyanya. Enjsmbemen atau peloncatan baris dalam puisi sangatlah menonjol pada puisi diatas.