Struktur bentuk atau struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna
yang hendak disampaikan penyair. Struktur bentuk yang disebut juga dengan metode puisi terdiri dari
(1) bunyi
dan irama, (2) kata, (3) baris dan bait, (4) citraan, (5) sarana retorika dan bahasa kiasan, dan (6) tipografi dan
enjambemen. Struktur fisik
atau metode puisi tersebut juga dipengaruhi pula oleh penyimpangan bahasa dan
sintaksis dalam puisi.
1.
Bunyi dan Irama
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia bunyi adalah sesuatu yang terdengar (didengar)
atau ditangkap oleh telinga. Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan
unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat
hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya : lagu, melodi, irama, dan
sebagainya. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang
lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan
menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus dan
sebagainya.
Irama
yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan
keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya
mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta nuansa makna tertentu.
Timbulnya irama itu, selain akibat penataan rima, juga akibat pemberian
aksentuasi dan intonasi maupun tempo sewaktu melaksanakan pembacaan secara oral.
Bunyi dan irama dalam puisi memiliki fungsi ekspresif dan estetis. Ekspresif
berarti dapat mengungkapkan ekspresi yang ada di dalam pusi tersebut, dan estetis
yaitu memiliki keindahan dalam tersendiri di dalamnya.
Bunyi dan irama dalam kumpulan puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum
Bachri mempunyai daya tekan terhadap bunyi yang sangat tinggi, salah satunya
terlihat dalam puisi yang berjudul POT.
POT
Pot
apa pot itu pot kaukah pot aku
Pot pot pot
Yang
jawab pot pot pot kaukah pot itu
Yang
jawab pot pot pot kaukah pot aku
Pot pot pot
Potapapotitu potkaukah potaku?
POT
Dalam
puisi pot tersebut sangat menonjol unsur bunyi dan irama. Bunyi pada suku kata
yang dibalik balik menimbulkan irama dan intonasi berbeda dalam pengucapan atau
penyampaiannya. Puisi diatas cenderung berirama cepat dengan artikulasi yang
jelas sehingga menimbulkan irama yang khas pada puisi tersebut.
Rima adalah persamaan bunyi pada puisi,
baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Irama adalah alunan yang terjadi karena
perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras
lembut tekanan, dan tinggi rendahnya nada. Metrum
atau ragam bunyi adalah ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan
suku kata dalam setiap baris. Metrum meliputi
bunyi euphony, bunyi cacophony, dan onomatope.
Dalam menganalisis ketiganya perlu mengetahui adanya
asonansi dan aliterasi. Asonansi adalah pengulangan bunyi vokal yang sama dalam
kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi, sedangkan aliterasi
adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi.
Baris pertama dari puisi Jadi terdapat asonansi i
dan a berturut-turut : tidak
setiap derita dan aliterasi t berturut-turut : tidak setiap derita. Baris kedua terdapat asonansi a : jadi
luka. Baris ketiga terdapat asonansi
i : tidak setiap sepi. Baris keempat
terdapat asonansi i : jadi duri.
Baris kelima mempunyai asonansi a :
tidak setiap tanda, dan aliterasi t : tidak setiap tanda.
Baris ke-6, ke-8, ke-10, ke-12, ke-14, ke-16, ke-18, ke-20 berasonansi a : jadi
makna, jadi ragu, jadi sebab, jadi mau, jadi pegang, jadi tahu, jadi kaca, pada wajahku! Baris ke-7 berasonansi a : tidak setiap tanya, dan
aliterast t : tidak setiap tanya.
Pada baris ke-9,ke-13, ke-15, ke-17, ke-19 berasonansi a : tidak setiap jawab, tidak setiap tangan, tidak setiap kabar, tidak setiap luka, memandang kau.
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa asonansi pada
puisi Jadi mendominasi menggunakana
asonansi a dan aliterasi t. Pada puisi tersebut terdapat kata
yang diulang-ulang seperti kata ‘tidak’ dan kata ‘jadi’.
2.
Kata
a.
Diksi
Diksi adalah pilihan kata atau rase dalam karya sastra. Diksi
sering kali juga menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang
mempunyai ciri khas tertentu dengan pemilihan katanya yang khas dan unik
seperti terdapat dalam puisi Tragedi Winka Sihkha berikut.
TRAGEDI
WINKA SIHKHA
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
Pemilihan kata yang ‘aneh’ serta terbalik menjadi ciri khusus atau
ciri khas pengarang Sutardji Calzoum Bachri. Kata tersebut mempunyai makna
tersendiri yang mana terdapat maksud ungakapan dari penyair
b.
Penulisan kata
Penulisan kata dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri tidak
menggunakan aturan khusus. Bebas dan penuh kreativitas merupakan salah satu
cirinya. Salah satunya tercermin dalam puisi berikut.
JADI
tidak setiap
derita
jadi luka
tidak setiap
sepi
jadi duri
tidak setiap
tanda
jadi makna
tidak setiap
tanya
jadi ragu
tidak setiap
jawab
jadi sebab
tidak setiap
seru
jadi mau
tidak setiap
tangan
jadi pengang
tidak setiap
kabar
jadi tahu
tidak setiap
luka
jadi kaca
memandang
Kau
pada wajahku!
Dalam puisi diatas, penulisan kata menggunakan huruf nonkapital
semua. Hanya satu yang menggunakan huruf kapital yaitu huruf ‘K’ pada kata
‘Kau’. Terdapat juga satu kata yang diakhiri dengan tanda seru, yaitu kata ‘wajahku!’
c.
Makna kata
Makna dari setiap kata dalam puisi Sutardji tidak begitu menonjol.
Pasalnya dalam kumpulannya yang berjudul O Amuk Kapak ini cenderung menonjolkan
keindahan bunyi daripada keindahan makna. Makna kata dalam puisinya dapat
menimbulkan makna ganda bagi pembaca atau makna yang abstrak. Seperti kata
‘winkha’ dan ‘sihkha’. Kedua kata tersebut akan memunculkan berbagai makna dan
berbagai pendapat dari pembaca yang mungkin berbeda dengan maksud penyairnya.
d.
Kata konkret
Berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata konkret dalam puisi dapat
dibedakan antara (1) lambang, yakni bila kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam
kamus (makna leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai
macam kemungkinan lain (makna denotatif); (2) utterance
atau indice, yakni kata-kata yang
mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian; dan (3) symbol,
yakni bila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga
untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat
bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis
kontekstual).
CINTA SEJATI (Kahlil Gibran)
Sejak
kehadiranmu hingga kini
Ruang
hatiku beraroma wangi
Buaian
bunga-bunga rindu menari
Yang
kau tinggalkan dihati
Makin
hari bersemi
Tanpa
layu senyum ini
Tersirami cinta suci
Darimu
kekasih hati
Jangan
biarkan aku sendiri
Kuhanya
ingin memiliki
Dirimu
seutuhnya cinta sejati
Menjadi
harga mati tak tertawar lagi
Andai
ada pengganggu hati
Hati
ini tegas menghadapi
Janganlah
engkau ragu lagi
Hati
ini milikmu abadi
Dalam
puisi Cinta Sejati karya Kahlil
Gibran menceritakan si aku lirik yang sedang jatuh cinta kepada kekasihnya. Terdapat lambang pada baris kesembilan sampai baris kesebelas,
dalam ketiga baris tersebut si akun lirik benar-benar ingin memiliki kekasihnya
seutuhnya. Kata ‘seutuhnya’ berarti kata sifat yang menyatakan kelengkapan dan
keseluruhan. Keberadaan kata tersebut juga sesuai dengan konteks larik
sebelumnya dan sesudahnya. Kata ‘beraroma wangi’ dalam puisi tersebut
menimbulkan makna ganda atau makna yang tidak sebenarnya. Hati seorang aku
lirik tidak benar-benar secara nyata beraroma wangi tetapi kata ‘beraroma
wangi’ menerangkan bahwa hati si aku lirik sedang bahagia. Hal serupa berlaku
sama terhadap kata ‘bunga-bunga’, ‘bersemi’, ‘layu’, ‘tersirami’.
3.
Baris dan Bait
Baris
dalam puisi pada dasarnya merupakan pewadah, penyatu, dan pengemban ide penyair
yang diawali lewat karya. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir
ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi
belum tentu terpenuhi tulisan. Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat
karena makna yang dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat
tersebut. Bait adalah satu kesatuan dalam puisi yang terdiri atas beberapa
baris.
Baris
dan bait puisi Sutardji cenderung tidak konvensional dan bebas. Sutardji tidak
menganut konvensi puisi pada umumnya. Baris dan bait tidak menentu. Banyak
puisi sutardji yang baris dan baitnya tidak teratur sehingga menyerupai suatu
bentuk, baik itu zigzag, piramida, dan lain sebagainya. Namun, terdapat juga
puisi Sutardji yang berbentuk seperti paragraf sehingga sulit untuk menentukan
baris dan baitnya. Berikut contoh puisinya.
Puisi
berbentuk paragraf :
SCULPTURE
kau membiarkan perempuan dan lelaki meletakkan lekuk tubuh mereka meletakkan
gerak menggeliatbagai perut ikan dalam air dari gairah tawa sepi mereka dan
bungkalan tempat kehadiran menggerakkan hadir dan hidup dan lobang yang menangkap
dan lepas rasia kehidupan kau tegak menegakkan lekuk bungkalan lobang dalam
gerak yang tegak diam dan kau menyentak aku ke dalam lekukbungkalanlobangmu
mencari kau
Puisi
berbentuk simbol atau lambang:
TRAGEDI
WINKA SIHKHA
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
4.
Citraan
Pengimajian (imagery) atau citraan merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan
melalui kata-kata. Ada bermacam-macam jenis citraan, sesuai dengan indra yang
menghasilkannya, yaitu (1) citraan penglihatan
(visual imagery), (2) citraan pendengaran (auditory imagery), (3)
citraan rabaan (thermal
imagery), (4) citraan pengecapan (tactile
imagery), (5) citraan penciuman (olfactory imagey), (6) citraan gerak (kinesthetic imagery).
DENGAN PUISI AKU (Taufiq ismail)
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
Dalam puisi
Taufiq Ismail yang berjudul Dengan Puisi
Aku sangat menonjol unsur
pengimajian atau citraan. Citraan penglihatan terdapat pada baris ketiga dan
keempat, baris tersebut menggambarkan akan penglihatan si aku lirik terhadap
kehidupannya yang luas. Citraan pendengaran muncul pada baris pertama, baris
tersebut menggambarkan tentang aku lirik yang menyuarakan pendapatnya untuk
didengarkan pembaca. Hal serupa juga dapat dilihat pada kata ‘busuk’ yang
mewakili citraan penciuman, kata ‘menangis’ yang mewakili rabaan dan kepekaan
rasa dari aku lirik terhadap puisinya.
5.
Sarana Retorika dan Bahasa Kiasan
Sarana
retorika meliputi penggunakaan majas dalam puisi. Bahasa figurasi atau bahasa
kiasan merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang maka
katanya atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek
tertentu. Majas sering juga disebut bahasa kias.
Majas terdiri atas majas perbandingan,
majas pertentangan, majas sindiran, dan majas penegasan.
a. Majas perbandingan, yaitu majas yang menyatakan perbandingan untuk meninggalkan kesan
dan juga pengaruh tertentu terhadap pendengar ataupun pembaca. Majas
perbandingan terdiri dari asosiasi, metafora, personifikasi, alegori, simbolik,
metonimia, sinekdok, simile;
b. Majas pertentangan, yaitu gaya bahasa atau kata-kata berkias yang menyatakan
pertentangan maksud sebenarnya oleh pembicara atau penulis dengan tujuan untuk
memberikan kesan dan pengaruhnya kepada pembaca atau pendengar. Majas
pertentangan terdiri dari antitesis, paradoks, hiperbola, dan litotes.
c. Majas sindiran, gaya bahasa yang
mengandung sindiran untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar
atau pembaca. Majas sindiran terdiri dari ironi, sinisme, dan sarkasme.
d. Majas penegasan, ialah gaya bahasa yang
mengandung kata kiasan yang dipergunakan untuk memberikan penegasan. Majas
penegasan terdiri dari pleonasme, repetisi, paralelism, tautology, klimaks,
antiklimaks, retorik.
PADAMU JUA
Amir Hamzah
Habis kikis
Segera cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Matahari - bukan kawanku.
Dalam puisi PadaMu
Jua karya Amir Hamzah terdapat berbagai bahasa figurasi atau majas.
Diantaranya adalah baris keempat bait pertama. Kata ‘seperti’ menunjukkan majas
asosiasi yaitu perumpamaan yang seperti dulu. Pada baris ketiga bait kedua,
kata ‘melambai’ mengandung majas personifikasi yang mengandung makna
seakan-akan melambai seperti manusia.
6.
Tipografi dan Enjambemen
Tata wajah atau tipografi adalah ukuran
bentuk, cara penyair menuliskan puisinya. Tipografi merupakan pembeda yang
penting antara puisi dengan prosa dan drama. Peranan tipografi dalam puisi,
selain untuk menampilkan aspek artistik visual, juga untuk menciptakan nuansa
makna dan suasana tertentu. Selain itu, tipografi juga berperanan dalam
menunjukkan adanya loncatan gagasan serta memperjelas adanya satuan-satuan
makna tertentu yang ingin dikemukakan penyairnya.
MANA JALANMU
Sutardji Calzoum Bachri
ikan membawa air
dalam mulut
taman
bangku ngantuk
angin bernapas sendirian
dedaunan harap
agar
angin menggoyanggoyang pinggul mereka
bulan senyum
ikan mencubit pipinya
jalan bergegas membawa orang
sedang kau kehilangan jalanmu
(mana jalanmu?)
bulan sebentar lagi habis
diganggu ikan
cepat cari jalanmu!
lekas panggil
siapa tahu
itu jalanmu
kemarin perigimu telah dicuri orang
(untung masih ada kolam)
ayo kejar
tanyakan!
-hei jalan siapa yang kau bawa?
-akukah itu?
(gelap)
mana jalan
mana orangnya?
Bajingan!
bulan ditelan ikan
Dari
puisi Sutardji yang berjudul Mana Jalanmu
terlihat jelas tata letak, bentuk, serta tipografi yang digunakan. Sutardji
mempunyai maksud atau tujuan tersendiri saat membuat tulisan dalam puisinya
mempunyai konsep seperti itu. Sutardji tidak mau terkekang dengan aturan puisi
yang selalu per bait dan mempunyai aturan khusus. Sutardji ingin puisinya
memiliki kebebasannya tersendiri dan juga dapat dijadikan sebagai ciri kas dari
karya-karyanya. Enjsmbemen atau peloncatan baris dalam
puisi sangatlah menonjol pada puisi diatas.